Skip to main content

Posts

Penyesalan Ku

  Aku pernah menjadi sangat bodoh, hingga membuat semua yang bermula indah, menjadi hancur berkeping-keping. Mencintai mu tidak pernah menjadi sesuatu yang aku sesali, melepaskan mu dengan begitu cepat itulah yang selalu menghantui pikiran ini. Setahun telah berlalu, rasa nya aku sudah bisa berlari sendiri, walau kadang ada kala nya aku menengok ke belakang dan merindukan diri mu. Hei, masihkah kamu menggigit kuku mungil mu setiap kali merasa gugup? masihkah kamu meminta italian chocolate ice cream setiap kali merasa kesal? Ah, waktu telah berlalu, tapi aku masih merindukan wajah merah marun mu. Sesak rasa nya tuk membayangkan bahwa saat ini, ada orang lain yang merasakan semua yang dahulu aku spesialkan. Seandainya kala itu aku tidak pernah memikirkan hal bodoh, tuk mengganti senyuman indah mu dengan perasaan palsu dan pahit yang dia berikan. Mungkin kah kita masih bahagia? Tertawa lepas hingga matahari terbenam di angkringan Pak Jono? Mungkin kah kau masih terus merengek untuk ma...

My Diary

Dear Diary,  Rabu, 11 Februari 2004. Aku selalu bertanya-tanya, bagaimana semua hal di dunia akan berakhir, di mana air yang terus mengalir akan berhenti, di mana angin yang berhembus akan beristirahat, atau hanya sekedar bagaimana aku tanpa kamu. Aku tidak pandai membaca wajah, aku pun tidak mudah mengerti segala hal, aku hanya menjadi aku, pria bodoh yang telat mengerti semua nya. Kala itu, hujan rintik tak menghentikan langkah mu, aku terus menelusuri jalan di belakang diri mu yang tergesa-gesa dan sesekali menengok ke belakang, mungkin memastikan aku masih mengikuti mu atau tidak. Aku mulai khawatir, baju putih mu mulai terlihat basah, aku mempercepat langkah ku, berharap cemas akan mencapai diri mu. Namun, kau tetap menjaga jarak, agar kita tetap berjauhan. Dalam setiap langkah, aku selalu memikirkan tentang apa yang salah, dan tentang apa yang kau inginkan untuk ku lakukan. Aku terus memanggil nama mu, "Dar, dar, berhenti dar" triak ku di tengah kebisingan rintik hujan ...

Bangku Melankolis

Semua ini bermula dari satu kalimat "kita putus ya" di sebuah kafe bergaya vintage pada hari Sabtu malam menjelang Minggu. Waktu itu aku hanya terdiam membatu, menatap seakan meminta mu untuk mengulang kata-kata. "Aku mau kita putus" ucap mu kedua kali, Kau tatap aku tanpa ragu. Aku masih bingung, berusaha menemukan kata untuk membalas semua yang terlalu tiba-tiba. "Kamu gak mau bilang apa-apa?" tanya mu lagi, kali ini memajukan sedikit kepala mu ke arah ku. Gugup bukan main, aku hanya bisa sedikit mengambil posisi mundur, lalu berkata "Lha Mba siapa?".  Seketika terdengar suara tertawa keras dari beberapa gadis, tidak jauh dari tempat kami berada. "Gila-gila" ucap salah satu gadis itu sambil menahan tawa, sedangkan yang lain memberikan tepuk tangan meriah. "Maaf ya Mas, kita lagi main truth or dare" kata mu malu-malu sebari perlahan pergi. Sebuah pertemuan singkat yang terus memberikan senyum kecil di setiap malam. Tak ku kir...

Merindukan Senja

Berkali aku bertanya, dari mana asal warna merah bercampur dengan orange dan kuning keemasan. Apa yang membuatnya begitu indah, dan bagaimana keindahan itu hilang dalam sekejap. Ia perlahan tertutup gelapnya malam. Saat itu ia adalah teman terbaik, menemani ku untuk berdiri di samping tiang listrik dan di bawah canopy sebuah ruko kosong depan kantor mu. Aku selalu menunggu dengan tak sabar, menatap tajam sebuah folding gate warna hijau muda yang dihiasi pintu kaca. Pukul 17:00 kau selalu menjadi yang pertama keluar dan mata mu pasti tertuju pada ruko kosong depan kantor, tepat di sebelah tiang listrik. Tanpa basa basi kau akan berlari, tersenyum lepas, sesekali membetulkan posisi tas ransel biru kecil yang terguncang-guncang. Sebuah template sapaan yang selalu kau ucapkan "sudah lama?" dan selalu ku balas dengan usapan kecil di kepala mu "belum kok". Mungkin tiang listrik akan tertawa meledek, beberapa kali aku hampir ketiduran ketika bersender kepada nya, beberapa ...

Ranting Patah

Berjalan di antara ranting patah Rapuh, seperti harapan yang perlahan punah Mungkin tubuh nya masih belum menyerah Walau hati nya mulai jenuh Sejauh mana ranting patah membawa langkah Dia lelah tuk bergerak tanpa tujuan pasti Berkali pikiran nya memohon agar berhenti Namun tubuh itu masih paksakan langkah Walau ia kini mulai hancur Perlahan menua dan rapuh Ia tetap ingin melihat ujung ranting patah Mungkin saja ia dapati diri nya bahagia, atau hanya sekedar mencoba tuk tak hancur.

Awal dan Akhir

Lain, Jhon seperti tak mengenal wanita yang duduk di depan nya, wanita itu menatap dingin tanpa perasaan, Jhon masih bingung akan apa yang terjadi, sesekali menggaruk kepala nya dan mengangkat cangkir kopi panas dengan canggung, "Ris? aku ada salah apa yah?" tanya Jhon memecahkan keheningan antar mereka, tertegun ia, Riska, wanita yang telah bersama nya 8 tahun itu, masih terus menatap Jhon tanpa berkedip, mulai merinding Jhon melihat tingkah Riska yang aneh. ia baru saja ingin mengakui bahwa pernah mengambil uang dari tas yang dititipkan Riska, untuk membeli Cappucino Cincau saat menunggu Riska di salon. "Ak-" belum sempat Jhon menyelesaikan kalimatnya, "Fyuhh" hela napas Riska panjang, "Memang" lanjutnya, Jhon bingung, alisnya naik sebelah "Memang apa nya?" jawab Jhon. "Bosan" jawab Riska sambil memalingkan wajahnya menatap pintu keluar, "Kamu bosan? mau ganti tempat?" ucap Jhon sebari membereskan barang-barang nya...

Abu

Biarkan saja aku menjadi kayu Terbakar dalam arang hitam Mencoba tak jadi menjadi abu Aku bertahan dalam diam Biar saja kau jadi api Hancurkan semua yang ku beri Ini hampir mejadi sia - sia Bahkan sedikit lagi tak tersisa Aku harap tidak cepat terbakar habis Bawa lah sisa-sisa diri ku Ingatlah aku dalam hati mu Kala kau ingin menangis Ini bukan salah panas nya api Atau bukan karena lemahnya kayu Boleh saja kayu basah tak bisa terbakar Api kecil pun bukanlah masalah Aku hanya berharap ada sedikit waktu, sebelum aku terbakar habis, tanpa bisa berkata sepatah kata pun. Aku benci arang hitam, yang membuat api mu makin besar, membuat aku cepat menjadi abu.