Semua ini bermula dari satu kalimat "kita putus ya" di sebuah kafe bergaya vintage pada hari Sabtu malam menjelang Minggu. Waktu itu aku hanya terdiam membatu, menatap seakan meminta mu untuk mengulang kata-kata. "Aku mau kita putus" ucap mu kedua kali, Kau tatap aku tanpa ragu. Aku masih bingung, berusaha menemukan kata untuk membalas semua yang terlalu tiba-tiba. "Kamu gak mau bilang apa-apa?" tanya mu lagi, kali ini memajukan sedikit kepala mu ke arah ku. Gugup bukan main, aku hanya bisa sedikit mengambil posisi mundur, lalu berkata "Lha Mba siapa?".
Seketika terdengar suara tertawa keras dari beberapa gadis, tidak jauh dari tempat kami berada. "Gila-gila" ucap salah satu gadis itu sambil menahan tawa, sedangkan yang lain memberikan tepuk tangan meriah. "Maaf ya Mas, kita lagi main truth or dare" kata mu malu-malu sebari perlahan pergi. Sebuah pertemuan singkat yang terus memberikan senyum kecil di setiap malam. Tak ku kira kafe vintage di Jakarta Selatan itu menjadi saksi dari sebuah pertemuan kecil yang berawal dari permainan truth or dare.
"Hai cowok melankolis yang selalu baca buku porno di sudut kafe" sapa seorang wanita. Seakan sudah mengenali suara itu, aku tak menoleh dan hanya memberikan sedikit senyuman. "Kopi hitam lagi?" lanjut wanita itu. "Iya, cocok buat nemenin baca buku porno" jawab ku sebari menutup buku anatomi serangga yang baru ku beli 3 bulan lalu. "Hahahaha jangan baper dong" kata mu sebari tertawa keras dan mengacak-acak rambut ku, lalu berjalan kecil kembali ke meja teman-teman mu yang terus menatap kita sejak tadi.
Saat itu pertemuan-pertemuan kecil dan singkat di kafe itu terasa sangat berarti dan cukup ku nantikan. Namun itu adalah sepotong cerita 3 tahun lalu. Hari ini pertama kali aku keluar lagi dari sangkar kecil dan berjalan kembali ke kafe itu, semua masih sama. Bahkan aroma kopi robusta yang sedang dibrew ini sama dengan ingatan ku. Betapa aku merindukan, sebuah kehadiran diri mu. Kembali ku duduk di sisi sudut. Bahkan setelah 3 tahun berlalu, bangku ini tetap saja tak pernah populer di kalangan pengunjung. Aku terus saja tersenyum kecil, mengingat semua candaan yang pernah kita lontarkan. 3 tahun itu waktu yang cukup lama, mungkin dia tak lagi mengingat nama ku.
"Kita putus ya" suara itu menggema dalam telinga ku, membuat aku terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menoleh. "Aku mau kita putus" suara itu terdengar lagi, seperti sebuah mimpi dan terdengar agak mustahil. Tanpa sadar air mata ini menetes dengan derasnya namun bibir ini tersenyum dengan lebar nya. "Hahahaha jangan baper dong" kata mu sebari tersenyum lebar, tapi kali ini tak ada lagi rambut untuk kau usap, bahkan tangan ini sudah terlalu kurus dan kecil untuk menyapa. Aku hanya bisa menatap mu yang buram di balik air mata yang terus berjatuhan. Ia masih ada, "Apa kabar jhon?" tanya mu dengan lembut. Aku hanya mengangguk kecil, tak mampu berbicara. Semua masih sama, bahkan kau masih ingat bagaimana kita bertemu.
Comments
Post a Comment