Skip to main content

Merindukan Senja


Berkali aku bertanya, dari mana asal warna merah bercampur dengan orange dan kuning keemasan. Apa yang membuatnya begitu indah, dan bagaimana keindahan itu hilang dalam sekejap. Ia perlahan tertutup gelapnya malam. Saat itu ia adalah teman terbaik, menemani ku untuk berdiri di samping tiang listrik dan di bawah canopy sebuah ruko kosong depan kantor mu. Aku selalu menunggu dengan tak sabar, menatap tajam sebuah folding gate warna hijau muda yang dihiasi pintu kaca. Pukul 17:00 kau selalu menjadi yang pertama keluar dan mata mu pasti tertuju pada ruko kosong depan kantor, tepat di sebelah tiang listrik. Tanpa basa basi kau akan berlari, tersenyum lepas, sesekali membetulkan posisi tas ransel biru kecil yang terguncang-guncang. Sebuah template sapaan yang selalu kau ucapkan "sudah lama?" dan selalu ku balas dengan usapan kecil di kepala mu "belum kok". Mungkin tiang listrik akan tertawa meledek, beberapa kali aku hampir ketiduran ketika bersender kepada nya, beberapa kali aku menatap iklan-iklan sedot WC yang menempel hanya karena bosan. 

Berjalan berdampingan menuju tempat parkir, kau selalu mengenggam tangan ku yang besar dan kasar. Sesekali antusias kau akan bercerita tentang betapa bodohnya boss mu yang sudah tua, atau betapa tololnya teman kerja mu yang baru lulus kuliah. Selalu dimulai dengan kalimat yang sama "aku gak habis pikir ya" lalu dengan antusias dan bergebu-gebu bicara panjang lebar tentang mereka. Aku terpaksa sesekali menengok kiri kanan, takut ada rekan kerja mu yang mendengar celotehan tak karuan itu. Hei kita ini masih di dekat kantor mu, pikir ku. Namun, sesekali aku juga tertawa keras karena ekspresi mu yang menghayati. Sinar senja perlahan menghilang, tergantikan oleh gelapnya malam. Kau selalu bersender pada punggung ku, setengah tertidur sebari memeluk erat.

Malam tak pernah sedingin ini, mungkin juga tak pernah menusuk dada. Tak lagi ku dengar tawa keras, atau pun celotehan mu tentang boss dan rekan kerja. Sudah berapa lama kita tak berjumpa, hanya kata terakhir mu yang masih ku ingat. hari itu, kau tak tersenyum ketika keluar dari pintu kaca itu. Kau bahkan tak berlari lagi, Kau hanya terdiam tanpa kata. "Lapar?" tanya ku dengan bingung, berusaha menemukan makna tersembunyi dari sikap aneh ini. Kau masih terdiam, lalu menunjukan sebuah chat dalam aplikasi WA antara kau dan teman perempuan. "Dia suka sama kamu" ucap mu singkat. "Hah?" jawab ku bingung, "Kamu coba ajah dulu jalan sama dia, aku udah kasih kontak kamu ke dia". Malam itu kita hanya terdiam, bahkan macetnya kota Jakarta tak lagi mengusik. Bingung, bagaimana mungkin kau relakan aku, seseorang yang telah berjuang seperti ini. Apakah kita tidak pernah punya perasaan yang sama? bagaimana mungkin sebegitu mudahnya kau ucapkan kata. Untuk siapa? bahkan aku tak pernah melihatnya. Beberapa kali aku kembali menunggu mu, menatap langit senja hingga berganti gelapnya malam. Bahkan sekarang folding gate hijau itu tak lagi menarik, aku sudah tak berteman dengan tiang listrik kotor, aku sudah lupa warna senja.

Namun sebuah kata "hai" membangunkan ku, sebuah suara yang aku kenal jelas. Tak pernah ku lupakan, membuat mata ini terbuka tak percaya di tengah kerumunan yang terus bersorak-sorai. Suara itu berlanjut "bahagia ya!" di selesaikan dengan senyum palsu, mata nya memerah, tangan yang sedikit bergetar. Tubuhku bergerak dengan sendiri nya, memeluk erat diri nya yang kecil. lalu menangis ia sejadi-jadinya dalam pelukan itu. Ia tambahkan sedikit tinju-tinju kecil, aku masih memeluk diri nya erat. "Kamu jahat" kata nya sebari melepaskan diri. Namun aku menarik kembali tubuhnya, aku tau ini mungkin terakhir kalinya. Aku tak ingin berakhir begitu saja, "aku cuma mau ngetes kamu, kenapa kamu tinggalin aku beneran" lanjutnya. Sesekali ia memukul dengan tinju kecil, "aku gak akan pernah tau kalau kamu gak bicara" jawab ku singkat. "Aku sudah melakukan yang kamu minta, sekarang kamu harusnya bahagia". Kau kembali menangis kencang, berusaha berbicara "bukan ini mau ku", "Tapi ini yang terjadi" jawab ku pelan sebari mengusap lembut kepala nya seperti dulu yang biasa ku lakukan di depan sebuah ruko kosong, di samping tiang listrik dan di bawah langit senja. "Doain aku bahagia ya" jawab ku sebari memegang kembali tangan wanita lain di samping ku, berjalan pelan meninggalkan diri mu, yang masih menangis menatap masa lalu.


Comments

Popular posts from this blog

Penyesalan Ku

  Aku pernah menjadi sangat bodoh, hingga membuat semua yang bermula indah, menjadi hancur berkeping-keping. Mencintai mu tidak pernah menjadi sesuatu yang aku sesali, melepaskan mu dengan begitu cepat itulah yang selalu menghantui pikiran ini. Setahun telah berlalu, rasa nya aku sudah bisa berlari sendiri, walau kadang ada kala nya aku menengok ke belakang dan merindukan diri mu. Hei, masihkah kamu menggigit kuku mungil mu setiap kali merasa gugup? masihkah kamu meminta italian chocolate ice cream setiap kali merasa kesal? Ah, waktu telah berlalu, tapi aku masih merindukan wajah merah marun mu. Sesak rasa nya tuk membayangkan bahwa saat ini, ada orang lain yang merasakan semua yang dahulu aku spesialkan. Seandainya kala itu aku tidak pernah memikirkan hal bodoh, tuk mengganti senyuman indah mu dengan perasaan palsu dan pahit yang dia berikan. Mungkin kah kita masih bahagia? Tertawa lepas hingga matahari terbenam di angkringan Pak Jono? Mungkin kah kau masih terus merengek untuk ma...

Ranting Patah

Berjalan di antara ranting patah Rapuh, seperti harapan yang perlahan punah Mungkin tubuh nya masih belum menyerah Walau hati nya mulai jenuh Sejauh mana ranting patah membawa langkah Dia lelah tuk bergerak tanpa tujuan pasti Berkali pikiran nya memohon agar berhenti Namun tubuh itu masih paksakan langkah Walau ia kini mulai hancur Perlahan menua dan rapuh Ia tetap ingin melihat ujung ranting patah Mungkin saja ia dapati diri nya bahagia, atau hanya sekedar mencoba tuk tak hancur.

My Diary

Dear Diary,  Rabu, 11 Februari 2004. Aku selalu bertanya-tanya, bagaimana semua hal di dunia akan berakhir, di mana air yang terus mengalir akan berhenti, di mana angin yang berhembus akan beristirahat, atau hanya sekedar bagaimana aku tanpa kamu. Aku tidak pandai membaca wajah, aku pun tidak mudah mengerti segala hal, aku hanya menjadi aku, pria bodoh yang telat mengerti semua nya. Kala itu, hujan rintik tak menghentikan langkah mu, aku terus menelusuri jalan di belakang diri mu yang tergesa-gesa dan sesekali menengok ke belakang, mungkin memastikan aku masih mengikuti mu atau tidak. Aku mulai khawatir, baju putih mu mulai terlihat basah, aku mempercepat langkah ku, berharap cemas akan mencapai diri mu. Namun, kau tetap menjaga jarak, agar kita tetap berjauhan. Dalam setiap langkah, aku selalu memikirkan tentang apa yang salah, dan tentang apa yang kau inginkan untuk ku lakukan. Aku terus memanggil nama mu, "Dar, dar, berhenti dar" triak ku di tengah kebisingan rintik hujan ...