Skip to main content

Kafe Harapan

Rintik air menyapa Doni melalui kaca-kaca gelap mobil Toyota Agya GR Sport warna merah nya. Namun ia hanya melamun. Masih tercium aroma khas dari parfum Chanel Coco Mademoiselle Woman, kesukaan Ranti. Wanita yang ia cintai dari 5 tahun lalu, air mata nya tak dapat tertahan, terjatuh mereka menyerahkan diri pada gravitasi, merelakan diri untuk tercerai berai pada lantai mobil yang dingin. Sepi, bahkan bunyi lampu sein berusaha menghibur Doni. Mata nya redup, tangan nya lemas, kaki nya mulai lelah menginjak kopling mobil merah nya. Dari kejauhan ia lihat sebuah kafe kecil bertuliskan "Kafe Senja", sebuah kafe minimalis dengan desain alam yang terpaksa asri. Turun ia dari mobil merah kebanggaan nya, tanpa menghiraukan basahnya jalanan, seakan tak peduli dengan sepatu TOMKINS Brittany pemberian dari Ranti. Pundaknya lemas, menunduk ia melihat sol sepatu nya yang tenggelam dalam bendungan air keruh.


"Americano 1 Mbak", kata pertama Doni setelah berjam-jam terdiam dan menangis. Dekil, rambutnya tak karuan, wajahnya kusam dan suram, gelagak tubuhnya seperti orang tak ingin hidup. Pandangan pertama Yuna kepada Doni. "Baik Mas, silahkan duduk di dalam, nanti saya antar", jawab Yuna sebari mengarahkan pandangan dan tangan pada bangku kosong yang berjajar rapi. Doni hanya menengok sebentar ke arah yang Yuna arahkan, kembali ia memandang kosong meja barternder tempat Yuna berdiri. Canggung, tanpa satu kata pun mereka saling berdiri berhadapan, satu terdiam dan satu nya sibuk meracik.


"Ini Mas Americano nya, semua jadi 20 ribu", kata Yuna memecahkan keheningan, menghentikan ocehan jam dinding yang terus berdetak, dibayarnya tanpa sepatah kata pun, hanya tangan yang menyodorkan uang pas 20rbu rupiah. "Terima kasih Mas", ucap Yuna berusaha ramah, masih tanpa jawaban. Doni berjalan keluar, berdiri di depan pintu kaca selamat 1 menit, menuruni tangga kecil 1 langkah, menunduk dan duduk pada tangga tangga kecil menuju kafe tempat Yuna berdiri.


Dipeluk kedua kaki nya, berusaha menyembunyikan wajah. Lebih deras air mata nya terjatuh. Tubuhnya gemetar. Ia teguk Americano yang hampir menjadi dingin. Pahit, ingin muntah rasanya. Tapi ia ingin mengetahui alasan di balik setiap senyum Ranti ketika meneguk Americano sambil menatap Doni saat dulu.


Yuna merasa ada yang tidak baik dari pelanggan nya satu ini, keluar ia dengan sebuah kain kering yang sedikit lusuh. Ditaruhnya di atas kepala Doni, "Dingin Mas, nanti bisa sakit loh", ucapnya sebari berusaha tersenyum dengan tulus. Doni masih terdiam, bahkan tak mengangkat kepala nya. "Ada masalah apa sih Mas?", ucap Yuna sebari berusaha duduk di samping Doni. Yuna melipatkan kedua kaki nya bersilah, menopang wajahnya dengan kedua tangan. Ditatapnya Doni yang masih meringkuk di antara kaki nya. "Pasti masalah cinta ya Mas?", tanya penasaran Yuna. "Udah gak apa Mas, dia yang rugi kehilangan Mas", lanjut Yuna. Kali ini Doni sedikit terganggu dengan kata-kata Yuna, diangkat kepala nya dan melihat ia ke arah Yuna. Terkejut dia, melihat wanita cantik dengan kacamata bulat, rambut ponytail, dan senyum indah sedang menatapnya. "Maaf mbak, saya ganggu ya?", ucap Doni sebari berdiri, mencoba untuk pergi. "Oh gak kok", balas Yuna sambil berusaha berdiri juga. 


Mereka berdiri sejajar sekarang, tersender Doni pada tembok di sebelahnya, "Pacar ku minggu depan nikah dengan lelaki lain", jawab Doni pelan sebari berusaha tersenyum ketir. Kaget Yuna, "Masnya tunggu sebentar ya", kata Yuna sebari masuk kembali ke dalam Kafe. Tak lama kemudian ia keluar dengan segelas plastik minuman yang telah dilapisi dengan tissue agar tak panas ketika dipegang. "Coklat panas biar Masnya gak sakit. Gratis hehe", ucap Yuna sebari memberikan minuman itu kepada Doni. Yuna tau saat ini bukan kata-kata yang dibutuhkan Doni, seakan mengerti akan hal itu. Doni tersenyum, "terima kasih", kata nya sebari berjalan kembali menuju mobil merahnya.


Dalam perjalanan pulang, hujan telah berhenti, meninggalkan jejak jejak basah pada jalanan yang berlubang. Sedikit demi sedikit Doni sruput coklat panas pemberian Yuna. Karena merasa sudah dapat memegang gelas plastik itu tanpa bantuan tissue, Doni berusaha melepaskan lilitan tissue. Terkejut ia, tertulis "Datang kembali ya, ketika kamu sudah siap tersenyum lagi", tersenyum malu Doni. Apakah Yuna hanya sekedar berbuat baik, atau memang menaruh hati. Apapun itu, seperti nya Doni siap menanti hari esok, kembali pada Kafe Senja, tempat minimalis yang dipaksa asri.

Comments

Popular posts from this blog

Penyesalan Ku

  Aku pernah menjadi sangat bodoh, hingga membuat semua yang bermula indah, menjadi hancur berkeping-keping. Mencintai mu tidak pernah menjadi sesuatu yang aku sesali, melepaskan mu dengan begitu cepat itulah yang selalu menghantui pikiran ini. Setahun telah berlalu, rasa nya aku sudah bisa berlari sendiri, walau kadang ada kala nya aku menengok ke belakang dan merindukan diri mu. Hei, masihkah kamu menggigit kuku mungil mu setiap kali merasa gugup? masihkah kamu meminta italian chocolate ice cream setiap kali merasa kesal? Ah, waktu telah berlalu, tapi aku masih merindukan wajah merah marun mu. Sesak rasa nya tuk membayangkan bahwa saat ini, ada orang lain yang merasakan semua yang dahulu aku spesialkan. Seandainya kala itu aku tidak pernah memikirkan hal bodoh, tuk mengganti senyuman indah mu dengan perasaan palsu dan pahit yang dia berikan. Mungkin kah kita masih bahagia? Tertawa lepas hingga matahari terbenam di angkringan Pak Jono? Mungkin kah kau masih terus merengek untuk ma...

Ranting Patah

Berjalan di antara ranting patah Rapuh, seperti harapan yang perlahan punah Mungkin tubuh nya masih belum menyerah Walau hati nya mulai jenuh Sejauh mana ranting patah membawa langkah Dia lelah tuk bergerak tanpa tujuan pasti Berkali pikiran nya memohon agar berhenti Namun tubuh itu masih paksakan langkah Walau ia kini mulai hancur Perlahan menua dan rapuh Ia tetap ingin melihat ujung ranting patah Mungkin saja ia dapati diri nya bahagia, atau hanya sekedar mencoba tuk tak hancur.

My Diary

Dear Diary,  Rabu, 11 Februari 2004. Aku selalu bertanya-tanya, bagaimana semua hal di dunia akan berakhir, di mana air yang terus mengalir akan berhenti, di mana angin yang berhembus akan beristirahat, atau hanya sekedar bagaimana aku tanpa kamu. Aku tidak pandai membaca wajah, aku pun tidak mudah mengerti segala hal, aku hanya menjadi aku, pria bodoh yang telat mengerti semua nya. Kala itu, hujan rintik tak menghentikan langkah mu, aku terus menelusuri jalan di belakang diri mu yang tergesa-gesa dan sesekali menengok ke belakang, mungkin memastikan aku masih mengikuti mu atau tidak. Aku mulai khawatir, baju putih mu mulai terlihat basah, aku mempercepat langkah ku, berharap cemas akan mencapai diri mu. Namun, kau tetap menjaga jarak, agar kita tetap berjauhan. Dalam setiap langkah, aku selalu memikirkan tentang apa yang salah, dan tentang apa yang kau inginkan untuk ku lakukan. Aku terus memanggil nama mu, "Dar, dar, berhenti dar" triak ku di tengah kebisingan rintik hujan ...